Rabu, 05 November 2008

Mengikuti Aku


“Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku  ia tidak dapat menjadi muridKu.”

(Flp 2:12-18; Luk 14:25-33)

“Pada suatu kali banyak orang
berduyun-duyun mengikuti Yesus dalam perjalanan-Nya. Sambil berpaling Ia
berkata kepada mereka: "Jikalau seorang datang kepada-Ku dan ia tidak
membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki
atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku.
Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak dapat menjadi
murid-Ku. Sebab siapakah di antara kamu yang kalau mau mendirikan sebuah menara
tidak duduk dahulu membuat anggaran biayanya, kalau-kalau cukup uangnya untuk
menyelesaikan pekerjaan itu? Supaya jikalau ia sudah meletakkan dasarnya dan
tidak dapat menyelesaikannya, jangan-jangan semua orang yang melihatnya,
mengejek dia, sambil berkata: Orang itu mulai mendirikan, tetapi ia tidak
sanggup menyelesaikannya. Atau, raja manakah yang kalau mau pergi berperang
melawan raja lain tidak duduk dahulu untuk mempertimbangkan, apakah dengan
sepuluh ribu orang ia sanggup menghadapi lawan yang mendatanginya dengan dua
puluh ribu orang? Jikalau tidak, ia akan mengirim utusan selama musuh itu masih
jauh untuk menanyakan syarat-syarat perdamaian. Demikian pulalah tiap-tiap
orang di antara kamu, yang tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya, tidak
dapat menjadi murid-Ku” (Luk 14:25-33), demikian kutipan Warta Gembira hari ini.

Berrefleksi
atas bacaan-bacaan serta mengenangkan ‘Pesta Semua Anggota SJ Yang Mulia Bersama
Kristus’ hari ini, saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

·   Hidup terpanggil, entah hidup berkeluarga atau
membujang/tidak nikah, antara lain menjadi imam, bruder atau suster, merupakan
bentuk tanggapan prositif atas panggilan Tuhan, dan bagi orang Kristen/Katolik,
yang beriman pada Yesus berarti ‘mengikuti
Yesus dalam perjalananNya” dan secara konkret berani memikul salib serta ‘membenci orangtua, isteri/suami, anak-anak,
saudara-saudari dan diri sendiri’ alias meneladan cara hidup dan cara
bertindak Yesus serta menghayati sabda-sabda atau ajaran-ajaranNya di dalam
hidup sehar-hari. Sebagai yang terpanggil kita diharapkan memiliki cara melihat, cara merasakan, cara berpikir,
cara bersikap dan cara bertindak terhadap segala sesuatu sesuai dengan cara
Yesus, bukan cara sendiri alias menurut selera pribadi (Jawa: sak penake wudhele dewe). “Memikul
salib” antara lain berarti setia pada panggilan dan tugas perutusan yang telah
dianugerahkan oleh Tuhan kepada kita. “Setia
adalah sikap dan perilaku yang menunjukkan keterikatan dan kepedulian atas
perjanjian yang telah dibuat” (Prof Dr Edi Sedyawati/edit: Pedoman
Penanaman Budi Pekerti Luhur, Balai Pustaka-Jakarta  1997, hal 24). Maka marilah kita mawas diri
atas perjanjian-perjanji an yang telah kita buat atau kita ikhrarkan: janji
baptis, janji perkawinan, janji imamat, kaul, janji kepegawaian, janji pelajar,
sumpah jabatan, dst.. Marilah kita kerahkan atau persembahkan seutuhnya diri
kita maupun segala milik kita untuk menghayati atau melaksanakan janji-janji
yang pernah kita buat atau ikhrarkan. Memang setia pada janji tidak akan pernah
terlepas dari aneka macam bentuk perjuangan dan penderitaan sebagai konsewensi
kesetiaan kita, sebagaimana telah dihayati oleh Yesus, Penyelamat Dunia, yang
rela menderita dan wafat di kayu salib demi keselamatan dunia seisinya.

·   “Lakukanlah
segala sesuatu dengan tidak bersungut-sungut dan berbantah-bantahan, supaya
kamu tiada beraib dan tiada bernoda, sebagai anak-anak Allah yang tidak bercela
di tengah-tengah angkatan yang bengkok hatinya dan yang sesat ini, sehingga
kamu bercahaya di antara mereka seperti bintang-bintang di dunia, sambil
berpegang pada firman kehidupan” (Flp
2:14-16a), demikian nasihat Paulus kepada umat di Filipi, kepada kita semua
orang beriman, yang terpanggil. “Jangan bersungut-sungut dan berbantah-bantah”
alias jangan mengeluh, menggerutu dalam menghayati atau melaksanakan panggilan
dan tugas perutusan. Mengeluh dan menggerutu berarti berpikir negatif terhadap
segala sesuatu, maka yang bersangkutan pasti tidak akan mampu menghayati dan
melaksanakan panggilan dan tugas perutusan sebagaimana mestinya. Sebaliknya
marilah kita senantiasa berpikir positif terhadap segala sesuatu, senantiasa
melihat dan mengakui apa yang baik, mulia, indah dan luhur dalam segala sesuatu
alias mengimani Penyelenggaraan Ilahi, karya Tuhan dalam segala sesuatu. Segala
sesuatu ada dalam hadirat Tuhan atau Tuhan hidup dan berkarya di dalam segala
sesuatu, itulah kebenaran iman yang harus kita hayati. Siapapun tidak menghayati
kebenaran iman ini berarti ‘bengkok hatinya dan tersesat’, sebaliknya yang
mengimani dan menghayati akan ‘bercahaya di antara mereka seperti
bintang-bintang di dunia”. Sebagai orang beriman, kehadiran dan sepak terjang
kita dimanapun dan kapanpun diharapkan menjadi ‘bintang yang bercahaya’,
sehingga membantu siapapun dalam mengusahakan kebenaran-kebenaran dan
menghayatinya.

“Sesungguhnya, aku percaya akan melihat
kebaikan TUHAN di negeri orang-orang yang hidup! Nantikanlah TUHAN! Kuatkanlah
dan teguhkanlah hatimu! Ya, nantikanlah TUHAN!” (Mzm  27:13-14)

Dikirim oleh : Rm. Maryo SJ
E-mail : rm_maryo@yahoo.com (Mediaperduki)
Editor : Group Hati-Nurani2000

Tidak ada komentar: